Pernah dengar kata ‘apriori’? Tahu artinya? Terjemahan bebasnya 'memberikan label atau cap terlebih dulu' atau 'berprasangka duluan'. Istilah ini cenderung digunakan untuk menunjuk yang negatif (apriori negatif). Tentu ada apriori positif, tapi jarang dipakai. Kebiasaan ber-apriori negatif (untuk selanjutnya cukup disebut dengan 'apriori') sebenarnya menjadi penghalang kita untuk mencapai keberhasilan dan kesuksesan yang lebih luas dalam hidup ini. Dalam kamus 'Oxford Advanced Learner's Dictionary', apriori diartikan 'using facts or principles that are known to be true in order to decide what the probable effects or results of something will be'. Sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia oleh Tim Prima Pena terbitan Gitamedia Press dikatakan apriori adalah ‘anggapan atau sikap yang sudah ditentukan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dan sebagainya) terhadap sesuatu'.
Contoh mudahnya adalah jika seseorang belum pernah menikmati nikmatnya durian matang, melihat penampilan buah yang ‘menyeramkan' karena banyaknya duri di kulit, akan mudah beranggapan bahwa rasa buahnyapun pasti ‘menyeramkan' alias tidak enak. Orang ini sudah ber-apriori sebelum mencoba sendiri rasa durian matang.
Belum lama ini saya menjalani satu hari yang penuh dengan apriori. Anak terkecil itu tiba-tiba panas tinggi di suatu malam. Karena dia pernah kejang-kejang dua kali dalam satu setengah tahun ini, sekeluarga menjadi panik. Sambil menunggu datangnya pagi, obat-obatan penurun panas silih berganti diberikan. Ternyata panasnya tetap bertahan. Begitu waktu menunjukkan jam enam pagi, segera Ibu saya menelepon dokter anak. Satu per satu gagal karena mereka masih berlibur dalam rangka Lebaran. Demikian pula di beberapa rumah sakit, dokter anak baru mulai praktek 1-2 jam lagi.
Ibu saya mengkontak dokter anak, terakhir yang ada dalam daftar telepon kami. Ternyata ada, malahan bersedia menerima kedatangan kami lebih awal dari jam prakteknya. Dalam hati saya ber-apriori, "Dokter ini berusaha keras mengumpulkan uang, sampai-sampai dokter lain masih libur, dia sudah praktek". Karena tidak ada alternatif, bergegas kami menuju tempat praktek si dokter. Setelah memeriksa anak saya dan bertanya ini-itu, si dokter mengkonfirmasikan kepada saya dan istri apakah sudah pernah dilakukan EEG (scanning otak). Saya langsung berpikir, jangan-jangan si dokter akan merekomendasikan EEG (padahal dokter-dokter sebelumnya mengatakan tidak perlu). Barangkali dia mendapatkan keuntungan jika merekomendasikannya. Ternyata dia menyimpulkan tidak perlu EEG. Saya jadi malu sudah ber-apriori.
Tibalah saat penutup dimana kami harus membayar. Kembali saya ber-apriori, karena dokter ini berkorban praktek di saat yang lain berlibur, pasti tarifnya mahal di atas dokter ahli biasa. Ternyata angkanya di bawah dokter ahli pada umumnya. Kembali saya dibuat malu sudah ber-apriori.
Setelah minum obat pertama kali, panas anak itu tetap tinggi. Malahan telapak tangan dan kakinya terasa dingin. Dalam kepanikan, ibu saya kembali menelepon si dokter. Dengan tenang dia menyarankan untuk kembali diperiksa di rumahnya. Setelah menyiapkan keperluan untuk antisipasi jika harus dirawat di rumah sakit, kami bergegas ke rumah si dokter. Pasti dia akan merekomendasikan rawat di rumah sakit tempat dia praktek, demikian kembali saya ber-apriori.
Untuk kesekian kalinya saya malu sudah ber-apriori karena ternyata dengan tegas si dokter mengatakan tidak perlu dirawat di rumah sakit. Sewaktu ditanya berapa biaya kunjungan kedua ini, dengan tegas dia mengibaskan tangannya dan berkata tidak usah. Pengalaman ini mengajarkan saya untuk tidak mudah ber-apriori dalam hidup ini. Bisa jadi kenyataan tidak sejelek atau sepahit yang dipikirkan. Tidak boleh menilai orang dari tampilan fisik, gaya bicara, tingkah laku sekilas semata.
Jika apriori menjadi ciri keseharian kita, sebenarnya kita membatasi pergaulan dan interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Dengan sering ber-apriori, sesungguhnya kita membatasi keberhasilan dan kesuksesan yang mungkin kita raih. Ini bisa terjadi karena kita melewatkan hal-hal yang sebenarnya bisa menjadi jembatan keberhasilan dan kesuksesan kita yang sedang 'bersembunyi', terhalang oleh 'tirai apriori' kita. Hal-hal tersebut bisa berupa orang baik, kesempatan baik, situasi baik atau kondisi baik yang kita jumpai, yang kemudian kita abaikan karena apriori terhadap orang dan hal-hal tersebut.
Seyogyanyalah kita mau lebih mengenal, belajar, menyelidiki, menyelami atau melakukan terlebih dahulu, baru bisa merasakan dan melihat kenyataan yang sesungguhnya karena 'tirai apriori' kita sudah tersingkap.
Selamat menjadi orang yang tidak 'diperbudak' oleh apriori !
sumber: internet
0 comments:
Post a Comment